Thursday, June 23, 2005

Resensi: Melihat Kisah dari Dua Sudut Berbeda


Judul: Meniti Bianglala
Judul asli: The Five People You Meet in Heaven
Penulis: Mitch Albom
Penerjemah: Andang H Sutopo
Penerbit: GPU, 2005
Tebal: 202 halaman
Harga: Rp 30.000
ISBN: 979-22-1349-X

JARANG orang berpendapat menyenangkan tentang kematian, apalagi pada orang tercinta dan baik hati. Kepergian mereka senantiasa menyedihkan, mengurai air mata, menghadirkan kenangan, seolah-olah ingin menghidupkan kembali perbuatan manis dan kebahagiaan yang pernah hadir. Kehidupan seakan berhenti sesaat setiap kali mendengar berita kematian orang tercinta yang lekat sosoknya di dalam hati; ada rasa yang juga lenyap di dalam diri. Mereka diratapi, baik sungguh-sungguh atau pura-pura.

Kematian Eddie, petugas perawat peralatan taman hiburan, tampaknya tidak seperti itu. Kematiannya dimulai dengan tragis. Dia gagal berusaha menyelamatkan kecelakaan di wahana luncur, tertimpa kabin berisi gadis kecil, tewas bersama benda itu, persis pada hari ulang tahun ke-83. Begitulah cara dia ditarik memasuki alam baka.

Waktu Eddie pertama kali bangun setelah mati, dia merasa seluruh aspek fisik hidup dan tubuhnya lenyap. Dia kehilangan tongkat, pincang di kaki, berat tubuh renta, sakit luar biasa saat tertimpa wahana. Awalnya dia merasa tidak beranjak pergi ke mana pun dari tempat sehari-harinya. Setelah diberi tahu orang pertama yang menemuinya, Eddie sadar berada di dimensi lain. Dia adalah orang yang tak sengaja, tanpa sepengetahuannya, tewas setelah menghindari kecelakaan mobil yang nyaris menimpa bocah kecil yang sedang mengejar bola bisbol. Bocah itu adalah Eddie. Fakta itu langsung membuat Eddie terkejut, sekaligus sadar betapa hidup seseorang bisa sangat lain jalan maupun akhirannya bila ditilik dari sudut pandang berbeda.

Orang pertama ini seolah ingin mengatakan karena Eddie "mengantarkannya" ke alam baka, giliran dia wajib menyambut Eddie, menerangkan apa itu alam baka dan kehidupan yang baru ditinggalkannya. Kata penghuninya, "Alam baka ada untuk mengerti tentang kehidupan di dunia." (hal 40)

Orang pertama ini menyampaikan pesan terbesar Tuhan kepada manusia: untuk mengerti apa yang terjadi di dalam kehidupan. Dia memberi tahu bahwa seseorang ada karena suatu sebab dan kejadian berlangsung saling berkait-baik kasatmata ataupun rahasia, bersentuhan, kemudian mengubah jalur hidup seseorang. Dalam kasus dengan orang pertama, Eddie akhirnya tahu kebaikan dari terhindarnya tertabrak mobil adalah persis dia bisa meneruskan hidup. Hanya dengan hidup orang berkesempatan berperan atau punya peluang memberi makna.

KEMATIAN adalah sesuatu yang niscaya dan mustahil bagi pikiran manusia, begitu tulis André Comte-Sponville dalam bukunya, The Little Book of Philosophy. Niscaya karena setiap momen dalam hidup ditandai kematian; mustahil karena kematian adalah misteri, nyaris tak ada yang bisa dipikirkan manusia tentang hal itu.

Kematian kerap memunculkan perdebatan ekstrem. Plato, misalnya, mengatakan kematian bukanlah kematian, melainkan kehidupan lain; sedangkan bagi Epicurus, kematian bukan apa-apa. Sebagian orang bilang alam baka justru merupakan awal dimulainya realitas, tempat orang bangun dan tak bisa kembali lagi dari tidur panjang di dunia. Tempat semua hal diperlihatkan sebagaimana adanya, dibukakan utuh, diketahui sebenar-benarnya.

Semua orang terkejut bila dipaksa mengalami kematian, apalagi bila tak siap, tak punya bekal maupun pengetahuan tentang hal itu. Sementara begitu sadar, semua seakan-akan sudah terlambat. Dia terpaksa hanya harus menjalani, menerima, beradaptasi bila memungkinkan, sisanya mulai dari nol lagi.

Sulit mencari jalan tengah di antara keduanya. Tapi kita bisa menentukan pokok perenungan tentang hal itu sebab pandangan tentang kematian atau kehidupan berpengaruh besar terhadap seseorang. Hanya di dunia orang punya kesempatan merasakan, memikirkan, memaknai, atau menyia-nyiakan hidup, sebelum akhirnya mati.

Seperti kisah hidup Eddie, betulkah sia-sia? Dia merasa hidupnya getir, membosankan, nyaris tanpa makna; bernyawa tanpa jiwa, berlangsung karena dipaksa menjalaninya, tak paham kenapa banyak peristiwa dalam hidupnya berlangsung merana, gagal melihat sisi istimewa hidup manusia. Keluarganya biasa, waktu ikut wajib militer malah disandera, kakinya ditembak waktu hendak menyelamatkan seseorang di tengah pertempuran, istrinya mati muda, dia terpaksa menerima pekerjaan memperbaiki wahana di taman hiburan, persis seperti ayah yang sangat keras terhadap dia dan keluarganya.

Dia tak punya banyak pilihan, juga tak sadar sebenarnya punya hal berharga, yaitu kesederhanaan dan kerelaan menjadi contoh orang yang selalu berkorban. Karena dipaksa menerima, dianggap sebagai bencana, ingin ditepis secepatnya, orang lain diberi kesempatan melihat Eddie sebagai cermin, menahan sebelum terjadi pada dirinya.

Meski terpaksa, dia melaksanakan tugas dengan cukup baik, beranggapan memang begitu seharusnya. Untuk negara dia rela berkorban, setia kawan, menjaga ibu, cinta istri. Pekerjaannya merawat wahana dan memperbaiki peralatan taman hiburan juga dikerjakan cukup berdedikasi; ramah kepada pengunjung, dicintai rekanan, cepat tanggap pada kerusakan, bahkan mengakhiri hidup dalam mempertahankan berlangsungnya kebahagiaan dan keceriaan di sana.

Eddie hanya gagal memaknai keberadaan diri, menganggap keberhasilan selalu berbentuk kisah luar biasa, pencapaian mengundang decak kagum dan pandang silau. Padahal sehari-hari, dalam bentuk paling sederhana dan nyata, orang menabur dan menanam makna, perlahan-lahan melakukan hal luar biasa, dan pada saatnya keajaiban terjadi dalam hidupnya. Eddie mengalami keajaiban itu lima kali, di alam baka dia ditemui lima orang yang bersentuhan dengan jalur hidupnya; merekalah yang mengubah hidupnya.

DI luar prasangka personal seseorang menjalani hidup membosankan dalam rutinitas mandul, tanpa gairah, di balik itu dia memiliki makna maupun signifikansi luar biasa dalam kehidupan, bagi orang lain dan lingkungan terdekat. Makna ini kadang-kadang gagal dicapai banyak orang. Karena itu orang merasa hampa makna hidup.

Hampa makna hidup-di berbagai fenomena bisa berupa alienasi, nihilisme, absurdisme-sebenarnya merupakan fenomena umum bagi manusia kontemporer. Ciri-cirinya ialah ketika orang merasa terasing dari diri sendiri, orang lain, lingkungan (sosial), atau kerja; di sisi lain merasa tak punya tujuan hidup dan takdir. Mereka hidup, berperan, merasa, ambil bagian, tapi semuanya tertelan hiruk-pikuk atau persoalan sehari-hari.

Orang kehilangan ruang meditasi (perenungan); sementara setiap kali mengalami peristiwa yang mampu memunculkan pertanyaan kritis seperti "siapa saya", "di mana saya", "ada apa sebenarnya" yang mencoba mengembalikan pada kesadaran atau vitalitas hidup, membuka eksplorasi diri, dia malah ditarik-tarik menyelesaikan dengan cara tak layak, kalau tidak melupakan dan menenggelamkan dalam buih laut kehidupan.

Ketika kecewa, bertanya tentang hidup, orang malah diajak minum-minum, bersenang-senang, dinasihati agar tak bertanya sesuatu yang sulit dijelaskan, berkata bahwa "masalah" itu akan selesai sendiri, akhirnya terlupakan bersama berlalu waktu dan peristiwa. Padahal itulah kesempatan orang mendapat jawaban fundamental terhadap misteri kehidupan.

Mitch Albom, yang baru bisa menulis novel lagi selang enam tahun setelah dibanjiri sukses spektakuler Tuesdays With Morrie (1997), menyajikan Meniti Bianglala dengan sentuhan elegan. Dia apik menyusun lima pertemuan dan pelajaran Eddie selang-seling dengan fase perkembangan melalui ulang tahun dan peristiwa di dunia setelah kematiannya. Pembaca diberi tiga panel cerita: alam baka, masa lalu, alam nyata. Sesuai judul dan mencoba memenuhi rasa pencarian, wajar bila porsi terbesar terjadi di alam baka, namun esensinya tentang manusia, yakni agar mau belajar hidup, menyelami kenyataan, merenungi kematian.

Di tengah-tengah, plot bisa terasa membosankan bagi sebagian pembaca karena diulang-ulang, namun tersingkapnya rahasia demi rahasia atas anggapan getir hidupnya, terbuka makna di balik keterbatasan pencerapan, memperlihatkan pandangan utuh kisah hidupnya secara dramatik mampu menggetarkan pembaca.

Salah satu semangat novel ini adalah mencoba mengembalikan spiritualitas manusia kontemporer yang makin tersisih meski tetap melekat. Dalam agama ada mitos mayoritas penghuni surga adalah orang sederhana; tapi orang paham betul betapa sukar memahami makna atau memikirkan apa maksudnya.

Di luar pengetahuannya, Eddie memperlihatkan, mencontohkan, bisa jadi orang sederhana itu seperti dirinya. Tanpa terasa, saking terbawa perasaan, buku tipis ini akan segera tamat dibaca, sementara pembaca boleh jadi belum puas bertemu dan belajar dengan Eddie, yang sosok dan teladannya ialah almarhum paman Albom sendiri. Anwar Holid Eksponen Komunitas Textour, Rumah Buku Bandung.

Sumber: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0506/12/Buku/1807103.htm

0 Comments:

Post a Comment

<< Home